Setelah 6 bulan

Kulepaskan pandanganku sangat jauh, saat aku sudah memasuki desa dimana aku di lahirkan. Senyum mulai menghias bibir yang selama dalam perjalanan hanya diam, dan tetap diam. Hamparan sawah yang penuh dengan mengeringnya padi, melambaikan tangannya kepadaku. Gelak tawa para petani, terasa begitu nyaman terlihat. Masih seperti dulu, saat 6 bulan lalu aku tidak menghela nafas disini.


Kulangkahkan kaki ini begitu cepat, saat aku berada di halaman istana yang aku rindukan. Salamku terjawab dengan merdunya suara Ibu, dan sesosok tubuh mulai terlihat keluar mendekatiku. Pelukannya terasa sangat hangat, bahkan sangat hangat. Mata ini pun hampir meneteskan air yang menggenang karena tertahan oleh kelopakku, saat aku tatap senyuman yang sangat tenang, senyuman yang sanggup mengobati lelahku. “Gimana kabar Ibu ?”, tanyaku mendahului suaranya. “Ibu sehat, kamu ?”, terdengar suara yang tak pernah berubah di telingaku. “Alhamdulillah sehat, berkat doa Ibu”, jawabku sambil melangkah masuk ke kamar yang lama sekali aku tinggal. tatapan mataku menjelajahi setiap sudut kamarku, yang memang sedikit berubah. “Nak, makan dulu. Pasti kamu belum makan kan ?”, suara Ibu yang membuyarkan tatapanku. “ya bu”, jawabku yang mulai melangkahkan kaki. Opor ayam, lauk yang selalu ibu sediakan setiap aku pulang. Aku pun melahap makanan yang disediakan Ibu, karena memang dari tadi pagi aku belum makan. Sesekali aku melirik Ibu yang duduk di depanku, tatapan matanya sangat tajam tertuju padaku. Entah apa maksud dari tatapan itu, sampai sekarang pun aku tidak tahu.


“assalamu’alaikum”, terdengar salam yang menghentikan obrolanku dengan Ibu. “wa’alaikumussalam”, aku dan Ibu menjawab. Bergegas Ibu menuju ke pintu depan, di bukanya pintu yang tertutup rapat saat itu. Tubuh yang gempal mulai terlihat olehku, Ayah. “kapan pulang”, tanya Ayahku. “tadi, belum ada satu jam”, jawabku sambil mencium tangan yang sudah banyak kerutan. Beliau langsung berpaling dariku dan menuju kamar, dan aku hanya terdiam. Sudah bukan hal yang aneh bagiku, ayahku memang orangnya terlalu cuek kalo sama aku. Sudah lama aku ingin tahu sebabnya, tapi kayaknya gak penting. Tatapan mataku masih tertuju pada Ayah yang sedang berjalan menuju kamarnya. Tubuh yang dulu tegap, sekarang sudah mulai membungkuk. Kerutan- kerutan di wajahnya mulai terlihat jelas, sepadan dengan rambutnya yang sudah mulai berubah warna. Tatapku berpindah ke Ibu, rambut belaiu pun sudah banyak yang berubah. Dan aku pun hanya bisa menarik nafas panjang, tanpa ada sebutir kata dalam hatiku.


Hari berikutnya, adik, kakak plus isterinya sudah berkumpul dirumah. Duduk- duduk di teras rumah, ngobrol sambil makan kerang yang di masak kakak iparku. Ayahku yang masih suka guyon, membuat suasana sangat hangat. Aku hanya tersenyum melihat mereka semua tertawa, karena sebenarnya di sisi hatiku yang sangat kecil sedang menangis. “Tuhan, jauhkan aku dari sifat- sifat yang Engkau benci”, bisikku dalam hati. Suara yang keluar dari hatiku, tak sedikitpun merubah suasana yang semakin nyaman.


Suara adzan yang terdengar begitu jelas, meghentikan tawa yang renyah. Tapi masih terdengar kata- kata Ayah yang membuat kami tertawa. Ayah, Ibu, Kakak, Kakak ipar, dan adikku masuk untuk mengambil air wudlu. Sedang aku masih terduduk di teras, mataku berlinang air. “Terimakasih Tuhan atas nikmat yang Engkau berikan kepadaku. Keluarga yang sangat mencintaiku, membuat aku merasa anak yang paling bahagia. Tuhan, jangan hilangkan semua ini dariku. Dan ijinkan aku untuk bisa dan tetap membahagiakan mereka, jangan biarkan mereka menangis karena ketakwarasanku”. Panggilan Ibu untuk sholat berjamaah di masjid, membungkam air dalam mataku.

No Response to "Setelah 6 bulan"

Post a Comment