Pulang Kampung

Setelah hampir 6 bulan aku meninggalkan rumah, bukan karena minggat, tapi di usir (gak ding). Akhirnya terlintas dalam otakku untuk pulang, melihat raut Ibu yang dah terlalu lama tak terlihat oleh mata ini. Dua minggu setelah ujian akhir semester, aku mutusin untuk pulang kampung. Travel, adalah transportasi yang aku pilih. Walaupun aku pernah di katain kayak cewek, gara- gara naek travel. Sok bodo teuing lah, yang penting aku bukan cewek. Beda dengan pulkam- pulkam sebelumnya, kali ini aku pengen gak ada yang duduk di sebelahku. Biar adem, ayem, dan bisa laluasa. Sampai di Magelang, semua aman. Aku hanya duduk sendiri di bagian belakang, tiga kursi untuk aku sendiri. Tiba di markas travel yang di Magelang, aku mulai panik. Di situ sudah menunggu beberapa ibu- ibu plus anak yang masih kecil, dan beberapa cewek yang mungkin masih kuliah. Do’aku mulai berubah, dari yang pengen duduk sendiri, jadi pengen di temani cewek- cewek itu. Bukan berfikiran macem- macem, tapi dari pada di sampingku ibu- ibu plus anak balitanya. Kali ini keinginanku gak terkabul, dua ibu- ibu masuk dan duduk di sampingku. Duduk dengan santai sambil menyapa dengan senyum, aku pun tersenyum dengan gak rela. Di pangkuan ke-dua ibu itu, tergeletak anak kecil yang masih tidur, lucu- lucu sih kalo lagi tidur. Perjalanan pun di lanjutkan, aku masih was- was dan gak enak posisi duduk. Seratus meter berlalu, semua aman. Sampai tiba- tiba terdengar suara tangisan yang merdu ( kalo di dengerin sambil tutup telinga ), yang mengagetkanku yang lagi terlelap. Reflek aja aku langsung berteriak sambil mencekik leher anak kecil itu, “ diem, gak tahu aku lagi tidur…..!!!! “ ( gak ding, cuma imanjinasiku aja ). Aku cuma diem, sambil meratapi nasibku kali ini. Anak itu terus menangis, gak bisa di diemin ma ibunya. Fikiranku langsung buntek, sangat- sangat buntek. Coba ibu itu minta tolong ma aku, pasti aku akan sukses membuat anak itu diem. Aku akan ambil jeruk yang aku bawa di tas, lalu aku suruh anak itu mangap, aku masukin jeruk itu ke mulutnya. Pasti jurus itu manjur, anak itu akan diem, bahkan mungkin akan diem untuk selama- lamanya. Untung aku langsung tersadar, jadi keinginanku gak terealisasi.
Penderitaanku gak cuma sampai gak bisa tidur, karena suara anak kecil itu. Tapi penderiataan yang lebih dahsyat juga datang, dan itu membuatku lemes. Tiba- tiba anak itu muntah, dan arahnya menuju aku. Reflek saja aku menghindar dari tujuan tembakannya, untung aku terhindar dari peluru yang keluar dari mulutnya. Aku semakin merana, gak tahu harus berbuat apa. Pasrah, itu yang aku lakukan. Kepalaku mulai pusing, karena udara di dalam travel sudah gak sehat. AC yang dari tadi menyegarkanku, kini berubah membuatku berkeringat. Tangisan anak kecil, berubah menjadi jeritan- jeritan setan yang menakutkanku. Suasana paling mengerikan, yang pernah aku alami.
Turun dari travel, bentuk-ku udah gak karuan. Jalan sempoyongan karena pusing, muka kucel, plus rambut berantakan. Untung pas sampai rumah, ada yang sangat menyejukkanku. “Assalamu’alaikum”, aku mengucap salam sebelum masuk rumah. “wa’alaikumsalam”, jawaban dari dalam rumah. Suara itu, suara merdu itu, masih seperti yang dulu. Aku memasuki pintu, aku lihat sesosok tubuh yang melangkah keluar. Gak ada kata- kata, yang ada hanya senyum. Senyum yang menunjukkan giginya yang tanggal satu, tapi terlihat sangat manis. Aku gapai tangannya, dan aku dekatkan dengan hidungku. Dan dia, memelukku. Nyaman, seakan bidadari- bidadari surga ikut serta dalam pelukannya. Menghilangkan semua penat, siksaan yang aku alami selama perjalanan.

No Response to "Pulang Kampung"

Post a Comment