Kado Yang Tak Bertuan

Dia pun tersenyum sesaat, usahanya seharian ini menuai hasil. Di tangannya tergenggam bebarapa ikan yang terkulai lemas menerima nasibnya. Tapi senyum itu tak lama, sebentar saja mampir di bibir yang beberapa hari membisu. Dia pun berlari, menuju rumah kecil. Dia mengacungkan ikan-ikan itu kepada seorang Ibu di dapur, sambil berucap “ini kado buat Ibu”, Ibu itu pun tersenyum. Lantas dengan langkah pelan menghampiri, dengan tangan renta yang menjulur, seakan ingin memeluk tubuh mungil itu. Angin laut pelan berhembus, merangsek masuk ke dalam rumah, lantas keluar dengan sangat pelan.

Dia pun tertunduk, tangannya yang mungil tiba-tiba lemas. Seorang Ibu yang hampir memeluknya lenyap, seakan terbawa angin tadi. Dia palingkan badannya pelan, meninggalkan rumah itu dan duduk di atas bongkahan kayu. Tempat yang sama, saat seminggu yang lalu terdengar suara merdu “nak, ikannya sudah matang”. Tapi hari ini? Kembali dia tertunduk. Tak ada lagi air yang menetes dari matanya, tak ada lagi tatapan sedih yang terpancar dari mata itu. Seakan ada yang menghalangi air mata untuk menetes, seakan terngiang kata-kata yang dulu pernah dia dengar “nak, jangan cengeng. Meskipun satu saat nanti, aku pergi meninggalkanmu, jangan teteskan air matamu”. Dia memeluk tubuh itu, dan air matanya mengalir deras di balik punggung yang renta. Tapi sekarang, tidak lagi. Sekarang dia bukan lagi anak cengeng, tidak ada lagi tetesan air yang keluar dari matanya.

Dia menatap ikan-ikan yang ada di genggaman, hampa tanpa ekspresi. Seakan-akan berucap “Setiap hari aku berikan kamu kepada Ibu, karena hanya kamu yang bisa aku berikan untuknya. Sekarang aku sendiri, Ibu telah pergi. Tapi tidak, aku tidak sendiri, masih ada kamu. Ya, masih ada kamu, yang setiap hari menemaniku. Aku tak akan pernah merasa sepi, tak akan pernah.”

No Response to "Kado Yang Tak Bertuan"

Post a Comment