Mbak Pri

Mbak Pri, begitu aku dan temen- temen kos memanggilnya. Dulu sebelum gempa mengguncang Yogya, aku kos agak jauh dari Kampus. Di kos itu hanya 5 orang yang menghuni, karena memang kamarnya cuma lima. Disitulah aku kenal dengan pedagang nasi kecil- kecilan, menghuni pinggir jalan samping kos. Setiap sore, beliau mulai menjajakan dagangannya. Dan setiap sore pula, aku makan masakkannya. Pertanyaan yang muncul adalah, makan di situ taiap hari, apagak bosen? Itulah kehebatan Mbak Pri, meskipun hanya dagang di atas gerobak kecil, tapi masakannya selalu beda tiap hari. Variasi makanan yang beliau buat, tidak bakal membuat bosen anak- anak kos untuk makan di situ. Kebaikan yang beliau tunjukkan, membuat aku dan mungkin anak-anak kos menganggap beliau sebagai Ibu kedua buat kami. Salah satu kebaikannya adalah saat anak- anak kos bingung masak daging jatah saat ‘idul adha, saat itulah Mbak Pri dating sebagai penolong. Mungkin karena beliau tahu kita tidak punya peralatan buat masak, beliau pun datang untuk menawarkan diri untuk masakkin daging itu. Bahkan saat sudah matang, dan dikirim kekos kita beserta nasi. Yang membuat kita kagum, beliau tidak mau di kasih uang. Padahal aku tau bagaimana keadaan ekonominya, karena memang rumahnya tidak jauh dari kos. Suaminya yang mengayuh becak tiap hari, dan beliau yang tiap sore jualan nasi. Tidak membuat beliau meng”uang”kan apa yang di kerjakannya, bahkan secara ikhlas berbuat baik kepada anak- anak kos.

Tapi setelah gempa 2006 yang lalu, aku tidak pernah lagi melihat beliau. Kamar kosku ancur, karena itulah aku harus pindah ke kosku yang sekarang. Bukan hanya kosku yang ambruk, tapi rumah- rumah warga juga ikut ambruk, termasuk rumah Mbak Pri. Sejak pindah, aku tidak pernah lihat lagi wajah beliau. Sering aku sengaja lewat di depan kos lama, berharap bisa mampir untuk makan di warung kecil Mbak Pri. Tapi harapanku musnah, karena Mbak Pri tidak lagi jualan. Aku jadi inget apa yang di katakana beliau, saat aku bilang aku mau pindah kos. Beliau bilang, “ anakku arep pindah dilit meneh (anakku mau pindah bentar lagi) “. Ternyata bukan aku saja yang menganggap beliau sebagai Ibu, tapi beliau juga menganggap aku sebagai anak.


No Response to "Mbak Pri"

Post a Comment